BANYUWANGI – Suara keberatan warga Desa Tembokrejo terhadap pelaksanaan Kirab Budaya yang dinilai mengganggu kenyamanan mulai mencuat ke publik. Hal ini disampaikan secara tegas oleh seorang warga sekaligus pengacara, Syafi’i Bin Matali, melalui surat terbuka yang ia unggah di akun media sosial Facebook miliknya, @mavez014.
Surat yang ditujukan kepada Kepala Desa Tembokrejo dan Panitia Kirab Budaya tersebut berisi protes keras terhadap penggunaan sound system berdaya tinggi (sound horeg) yang berlangsung hingga pukul 12 malam.
“Ini telah menyebabkan gangguan serius terhadap kenyamanan dan hak istirahat warga, terutama yang memiliki bayi, lansia, atau anggota keluarga yang sedang sakit,” tulis Syafi’i.
Ia menegaskan bahwa istirahat malam adalah kebutuhan dasar yang tidak seharusnya dikorbankan hanya demi hiburan sesaat. Syafi’i juga menolak anggapan bahwa kegiatan tersebut bisa dimaklumi karena hanya berlangsung setahun sekali dan memberi keuntungan ekonomi bagi pedagang.
“Ketenangan warga bukan untuk dikorbankan meski hanya satu malam dalam setahun. Toleransi bukan berarti menutup mata terhadap pelanggaran hak orang lain,” tegasnya.
Dalam surat terbuka tersebut, Syafi’i juga menyampaikan tuntutan agar:
- Panitia melakukan evaluasi dan mempertanggungjawabkan gangguan yang terjadi.
- Kegiatan serupa ke depan dibatasi maksimal hingga pukul 22.00 WIB.
- Disusun regulasi tingkat kebisingan yang wajib ditaati oleh penyelenggara.
Di akhir surat, ia menyatakan bahwa budaya seharusnya menjadi sarana pemersatu masyarakat, bukan sumber konflik atau pemaksaan terhadap hak-hak warga.
“Kami mendukung kegiatan budaya yang sehat, edukatif, dan beradab. Tapi kami menolak keras segala bentuk penyelenggaraan yang merugikan warga secara nyata, apalagi tanpa koordinasi dan batasan yang jelas.”
Surat terbuka ini kini ramai menjadi perbincangan warga dan menjadi refleksi penting mengenai tata kelola kegiatan masyarakat yang berimbang antara pelestarian budaya dan hak-hak dasar warga.
(red)